Misteri Pesugihan Pohon Ketos di Kecamatan Trucuk Kabupaten Klaten




Kepercayaan pada Pohon Ketos bagi masyarakat Dusun Padangan, Kelurahan Palar, Kecamatan Trucuk, Kabupaten Klaten adalah sebuah kepercayaan yang sudah ada sejak lama dan sudah tertanam dalam setiap diri masyarakat Padangan mulai sejak dini. 

Dari anak-anak hingga para sesepuh Dusun Padangan sudah memercayai Pohon Ketos sebagai pohon keramat yang ada di dusun mereka. Kepercayaan ini sudah mendarah daging dalam diri masyarakat Padangan secara turun temurun dan kepercayaan tersebut sangat lumrah dan rasional bagi masyarakat, walaupun orang luar dusun Padangan mungkin sekali menganggap kepercayaan tersebut sangatlah aneh dan tidak rasional. 

Bagi masyarakat Padangan, Pohon Ketos adalah pohon yang di satu sisi bisa membawa keberkahan bagi mereka jika diperlakukan dengan baik, namun di sisi lain akan membawa malapetaka jika diperlakukan dengan tidak baik. 

Asal-usul Pohon Ketos

Bagi masyarakat Padangan, Pohon Ketos adalah pohon keramat yang sangat dihormati oleh mereka. Tidak ada yang berani berbuat macam-macam terhadap Pohon Ketos, walaupun hanya sebatas mengambil daun pohon tersebut.  Kepercayaan ini sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu dan sudah tertanam dalam setiap diri masyarakat Padangan mulai dari anak-anak hingga para sesepuh dusun Padangan yang sudah memercayai Pohon Ketos sebagai “pengayom” hidup mereka. 

Menurut penuturan Bapak Dahono (juru kunci Pohon Ketos) , Pohon Ketos ini sudah ada sejak zaman dahulu. Pohon Ketos telah berusia sekitar 800 tahun. Beliau sendiri hanya sempat bertemu dengan dua orang juru kunci sebelumnya, yakni ibu (Mbah Kardikem, wafat tahun 2006) dan nenek (wafat tahun 1969) beliau. Namun menurut mitos yang dikatakan oleh Bapak Dahono menyatakan bahwa Pohon Ketos pada mulanya adalah Eyang Bondo yang merupakan cucu dari Raja Jayabaya dari Kediri datang ke Padangan untuk moksa lalu berubah menjadi Pohon Ketos tersebut.

Menurut Bapak Dahono, Pohon Ketos sebelum tahun 1945 masuk ke wilayah dusun Bero, namun setelah tahun 1945 masuk ke wilayah dusun Padangan. Dalam menjelaskan Pohon Ketos, Bapak Dahono memberikan informasi yang menurut kami sangat banyak, mulai dari asal-usul hingga pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat Padangan, namun beliau lebih mendalam menjelaskan dan menegaskan perihal daya anima dan magisnya.

Kepercayaan ini sudah mendarah daging dalam diri masyarakat Padangan secara turun temurun dan kepercayaan tersebut sangat lumrah dan rasional bagi masyarakat, walaupun orang luar dusun Padangan mungkin sekali menganggap kepercayaan tersebut tidak rasional sama sekali. Bagi masyarakat Padangan, Pohon Ketos adalah pohon yang bisa membawa keberkahan bagi mereka jika diperlakukan dengan baik, sekaligus akan membawa malapetaka jika diperlakukan dengan tidak baik.

Pergantian juru kunci ini melalui sistem keturunan dengan cara ditunjuk oleh Eyang Bondo melalui perantara juru kunci yang masih hidup. Tidak ada yang bisa mengambil alih posisi juru kunci selain keturunan, bahkan paranormal sekalipun. Bapak Dahono sendiri ditunjuk oleh Eyang Bondo melalui ibu beliau pada jam satu malam, sebelum besoknya ibu beliau meninggal dunia setelah sholat Magrib. Pohon Ketos tidak bisa dibibit, dicengkok, tidak pernah disirami sebagaimana pohon biasa yang lain, Pohon Ketos tumbuh dengan “sendirinya”, tidak bertambah tinggi maupun berguguran, oleh sebab itulah pohon ini dikeramatkan. Pohon Ketos pernah masuk di Majalah Tempo dan Kartini ketika juru kuncinya masih ibu Bapak Dahono. 

Daya Magis Pohon Ketos

Mengenai daya anima dan magis Pohon Ketos, Bapak Dahono menjelaskan bahwa Pohon Ketos (Eyang Bondo) tersebut bisa mendatangkan “berkah”. Eyang Bondo akan mengirimkan dua orang anak cucunya dalam bentuk gaib untuk membimbing orang yang menginginkan “berkah” tersebut, baik melalui mimpi ataupun secara langsung. Dalam pernikahan pun misalnya, sepasang pengantin diharuskan untuk mengelilingi Pohon Ketos agar hubungan mereka senantiasa langgeng. 

Namun, Pohon Ketos juga bisa mendatangkan malapetaka (sakit, mati, atau kesurupan) apabila Eyang Bondo tersebut marah karena ulah masyarakat itu sendiri, seperti meremehkan, mengolok-olok, atau mencabut daun Pohon Ketos tersebut. Dan Bapak Dahono sendiri yang akan mengobati orang yang terkena malapetaka tersebut. Jika Bapak Dahono sudah memberi izin dan kita tidak berkata “macammacam”, maka tidak akan terjadi apa-apa. 

Dulu, Tukul Arwana pernah membawa paranormal yang bernama Mbah Bejo, saat itu tiga orang krunya kesurupan. Pernah pula seseorang terkena stroke dan meninggal hingga anak cucunya dihantui hanya karena dia pernah berkata “Masa cuma nebang Pohon Ketos saja tidak berani!? Biar aku saja yang nebang!”. Dan ada pula seorang kakek yang buta karena saat kecil dulu pernah buang air kecil disekitar Pohon Ketos. Dan pula, menurut masyarakat sekitar kendaraan Eyang Bondo adalah kereta kencana dengan kuda putih besar yang sering terlihat di sekitar Pohon Ketos pada malam hari ketika listrik masih belum masuk dusun Padangan.  

Pohon Ketos hanya didatangi sewaktu-waktu saja, sebab yang mendatangi Eyang Bondo memang hanyalah orang yang ingin mendapatkan “berkah”. Siapapun yang ingin mecari berkah dari Eyang Bondo, wajib menghubungi Bapak Dahono terlebih dahulu. Saking kuatnya daya anima dan magis Pohon Ketos ini, rumah milik Bapak Dahono yang berada tepat di depan Pohon Ketos pun tidak dapat dijual kepada orang lain, karena tanah rumah itu harus ditempati secara turun temurun. Hingga Eyang Bondo pun dianggap sebagai “pengayom” masyarakat Padangan. 

Selanjutnya, Bapak Dahono menjelaskan sedikit ritual berupa sesaji dan sebagainya. Ritual ini dikhususkan bagi orang yang ingin mendapatkan “berkah” dari Eyang Bondo. Ritual khusus ini berupa mengambil “barang” dari Pohon Ketos misalnya berupa daun atau ranting lalu dibawa ke rumah dan diberi sesaji meliputi teh manis, rokok, gecok (garang asem), kembang setaman, dan pisang raja, selama tujuh kali Jum’at. Beliau menjelaskan sebatas itu saja, karena untuk lebih detailnya harus menjadi “pelanggan” Eyang Bondo.

Pengaruh Kepercayaan Pohon Ketos

Jika dilihat dalam kehidupan masyarakat Padangan, maka akan diketahui bahwa kepercayaan pada Pohon Ketos ini sudah meresap dan mendarah daging dalam diri masyarakat sejak ratusan tahun yang lalu. Oleh sebab itu, melepaskan kepercayaan ini adalah hal yang sangat sulit dilakukan. Karenanya, masyarakat Padangan tetap teguh memegang kepercayaan tersebut meskipun mereka pada umumnya beragama Islam. Bagi orang luar, hal ini mungkin akan terasa sangat aneh dan tidak rasional. Beragama tapi percaya pada roh adalah hal yang aneh bagi masyarakat luar, khususnya masyarakat perkotaan. Namun, kenyataannya hal tersebut benar-benar terjadi pada masyarakat Padangan.

Pada tanggal 07 Desember 2020, kami melakukan wawancara lagi dengan lurah Palar (Bapak Soni Efandi). Menurut Bapak Soni Efandi kepercayaan terhadap Pohon Ketos tersebut sudah ditanamkan dalam masyarakat sekitar mulai sejak kecil, sehingga sangat susah untuk menghilangkannya, dan dia juga menyampaikan bahwa seseorang bisa tertimpa penyakit hanya karena mencabut daun Pohon Ketos. 

Namun kepercayaan ini semakin pudar seiring berjalannya waktu sebab modernitas, “Ya zamannya sudah beda mas, dulu waktu saya kecil, Pohon Ketos serasa sangat keramat dan memiliki daya magis yang kental, namun sekarang ini keramatan dan daya magis pada Pohon Ketos itu seolah-olah sudah pudar”, kata Bapak Soni. “Sekarang masyarat juga sudah paham akan agama ya, jadi secara pribadi tidak percaya pada Pohon Ketos, Secara umum alasannya sederhana, yakni karena dia orang Islam, dan menurut keyakinannya kepercayaan tersebut dilarang dalam agamanya. Namun, dia tetap tidak berani mengganggu eksistensi Pohon Ketos lebih karena tidak ingin terjadi perselisihan antar masyarakat. Ya, yang baik masyarakat sini masih mau melestarikan budaya turun temurun, mas, kayak wayangan, slametan, kenduri, dsb”, imbuh Bapak Soni.

Sikap keberagamaan masyarakat Padangan tidak seperti masyarakat beragama pada umumnya, mereka memang tetap menjalankan ajaran agama (Islam) seperti pada umumnya, namun kepercayaan pada Pohon Ketos ini tetap masih ada dalam diri mereka, padahal kepercayaan pada roh ini dilarang dalam agama yang mereka anut. Hal ini antara lain dikarenakan orang Jawa sangat menyukai dan biasa melakukan ziarah, termasuk ziarah mencari “berkah” seperti Pohon Ketos ini, meskipun mereka menganut agama-agama besar seperti Islam, Katolik, Hindu, Buddha, dan sebagainya secara formal.
Menurut Andrew Beatty, secara sederhana orang Jawa bisa diartikan sebagai orang yang lebih cenderung memposisikan warisan kultural Jawa mereka sebagai hal primer dan afiliasi kemusliman mereka sebagai hal yang sekunder. 

Namun, kepercayaan ini sekarang mulai terkikis secara perlahan diakibatkan munculnya agama dan sains. Dan kepercayaan pada Pohon Ketos ini dulunya juga memengaruhi etos kerja mereka. Sebab menurut keyakinan mereka, apabila Eyang Bondo merestui usaha mereka, maka rezeki mereka akan lancar. Namun, sekarang kepercayaan tersebut juga mulai pudar karena zaman yang semakin maju dengan modernitasnya. Sehingga yang lebih banyak meminta “berkah” di Pohon Ketos adalah orang luar masyarakat Padangan, baik luar kota bahkan luar negeri. 

Sedangkan, hubungan sosial kemasyarakatan menjadi lebih erat dan penuh solidaritas akibat kepercayaan mereka pada Pohon Ketos. Setiap usaha mereka sukses, mereka akan berbagi sedekah, slametan, dan sebagian hasil usaha mereka pada seluruh masyarakat Padangan. Semua masyarakat turut merasakan kebahagiaan salah satu warga yang mendapatkan “berkah” dari Eyang Bondo. Sehingga hubungan antar masyarakat menjadi lebih erat dan harmonis. 

Dalam etos kerja, menurut Kepala lurah Palar, Bapak Soni Efandi, kepercayaan terhadap Pohon Ketos tidak memengaruhi masyarakat Padangan dalam bekerja. Namun, mungkin dulu ketika juru kuncinya masih Mbah Kardikem, hal tersebut mungkin saja memengaruhi etos kerja masyarakat. Sebab jika usahanya “direstui” oleh Eyang Bondo, maka rezekinya akan lancar. Tapi biasanya masyarakat Padangan memilih bekerja menjadi pengusaha yang usahanya di luar kota. Mereka biasanya mencari “berkah” di Pohon Ketos dengan cara slametan. Jika rezekinya lancar, biasanya mereka akan bersenang-senang di Pohon Ketos dengan acara nanggap wayang/ nanggap ledhek untuk warga 
sekampung. 

Dalam hubungan sosial kemasyarakatan, menurut Bapak Dahono, kepercayaan pada Pohon Ketos ini menimbulkan efek positif berupa makin kuatnya hubungan dan solidaritas antar masyarakat. Misalnya, ketika ada warga yang sedang sakit, keluarganya akan meminta kepada Eyang Bondo agar diberi kesembuhan, setelah sembuh mereka akan sedekahan dan slametan. Ada pula warga yang mengadakan syukuran karena telah mendapatkan “berkah” dari Eyang Bondo hingga usahanya sukses. Dan banyak lagi kegiatan sosial kemasyarakatan lainnya yang berawal dari kepercayaan pada Pohon Ketos hingga menjadi perekat hubungan antar masyarakat Padangan hingga sekarang. 

Kepala lurah Palar, Bapak Soni Efandi, juga mengiyakan hal tersebut. Menurutnya, hubungan antar masyarakat juga menjadi erat. Namun, hal ini lebih kepada kegiatan wayangan yang berlakon Baratha Yudha. Setiap bulan Mulud, desa Padangan mengadakan kondangan semacam tumpengan dan ada Ingkung ayamnya. Dan tradisi ini dijadikan sebagai cagar budaya oleh aparat kelurahan Palar. Sehingga, sekali ada acara wayangan, masyarakat Palar dan luar Palar sangat antusias menyaksikannya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Trilogi Pembangunan Orde Baru: Pengertian, Kebijakan, dan Dampak

Perpecahan Sosial Politik India Setelah Masuknya Islam