Cina Masa Rekonstruksi dan Konsolidasi

Cina Masa Rekonstruksi dan Konsolidasi


Kurang lebih selama 30 tahun melewati berbagai macam rintangan, di antaranya kolonialisme dan perang saudara dengan Partai Nasionalis, akhirnya Mao Zedong memproklamirkan berdirinya negara Republik Rakyat Cina pada tanggal 1 Oktober 1949. 

Mao Zedong menjadi pemimpin sekaligus merekonstruksi sistem pemerintahan dan juga mengubah pandangan dunia internasional terhadap bangsa Cina, dan yang paling terpenting adalah cara pandang masyarakat Cina terhadap kelompok mereka sendiri.

Pada masa itu, China identik dengan kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan akibat pasca perang Cina-Jepang dan juga perang saudara dengan Partai Nasionalis, yang menyebabkan Cina berada dalam kondisi yang buruk bahkan pada masa itu Cina mengalami inflasi mencapai 85.000%. 

Dari masalah-masalah tersebut yang paling memprihatinkan adalah masalah ekonomi negara, apabila dibiarkan dan tidak melakukan rekontruksi maka negara akan berada dalam keterpurukan. 

Hal ini kemudian yang menjadi siasat partai komunis Cina untuk memfokuskan pada pembangunan yang kaitannya dengan perekonomian negara antara lain, perbaikan pada pabrik-pabrik, meningkatkan produksi, memperbaiki fasilitas-fasilitas transportasi serta juga mengendalikan inflasi negara dan mengerem pengeluaran-pengeluaran pemerintah demi mencapai ekonomi yang diharapkan pada saat itu. (Ririn Darini, 2010: 24).

Kebijaksanaan dan upaya-upaya pembangunan negara dalam periode rekonstruksi dan konsolidasi, berkiblat sepenuhnya pada pemikiran sosialisme Mao Zedong. (Leo Agung, 2014: 36). 

Pemikiran-pemikiran Mao berdasarkan gagasan-gagasan pemikir sosialisme seperti Karl Marx, Engels, Lenin, dan Stalin yang disesuaikan dengan situasi obyektif negara Cina pada masa itu dan dipadukan dengan pengetahuan intelektual pribadi serta pengalaman-pengalaman perjuangan revolusi Mao Zedong yang akhirnya disebut Maoisme, sehingga menghasilkan suatu konsep pemikiran yang pragmatis. (Ririn Darini, 2010: 7).

Salah satu karakteristik dari konsep pemikiran Mao adalah menempatkan pembangunan sektor pertanian pada tingkat teratas, di sini Mao menekankan bahwa masyarakat sosialis modern bisa dicapai melalui suatu proses transformasi yang  terjadi di daerah pedesaan.

Menurutnya hasil dari pembangunan dalam sektor pertanian di pedesaan harus tetap berada pada penduduk desa dan tidak boleh dibawa untuk mensuplai pembangunan industri di perkotaan, tujuannya untuk memperbaiki masalah gizi, kesehatan, pelayanan sosial, dan pendidikan petani, serta dalam rangka menyediakan dana untuk membangun industri di pedesaan atau untuk membantu industri di perkotaan yang menunjang pembangunan dalam sektor pertanian. (Leo Agung, 2014: 36-37).

Periode rekonstruksi dan konsolidasi mengandung sistem hubungan produksi feodalisme dan kapitalisme yakni suatu formasi sosial yang terdiri dari beberapa cara produksi maka mau melakukan pembaharuan sistem pemilikan tanah atau land refrom. 

Dalam melaksanakan upaya land reform Mao Zedong menempuh tahap-tahap di antaranya: 

Pertama, melakukan penelitian, studi dan analisis terhadap situsai di berbagai daerah pedesaan, berbagai lapisan, dan penentuan kelas dalam masyarakat.  

Kedua, menetapkan garis-garis politik berdasarkan situasi yang nyata serta mengembangkan sedemikian rupa sesuai dengan keadaan dan tempat setingkat demi setingkat. 

Ketiga, pada langkah pertama dapat dipakai isu turun sewa dan turun bunga sebagai langkah persiapan untuk menetralisir tani sedang dan tani kaya guna melakukan pukulan terakhir terhadap kaum reaksioner dan tuan-tuan tanah sisa-sisa feodal.

Keempat, untuk mempertinggi taraf kebangkitan dan memobilisasi massa, tanah milik tuan tanah disita lalu dibagikan secara merata.

Latar Belakang Rekonstruksi dan Konsolidasi Republik Rakyat Cina

Setelah kurang lebih selama 30 tahun melewati berbagai macam rintangan, di antaranya kolonialisme dan perang saudara dengan Partai Nasionalis, akhirnya, pada tanggal 1 Oktober 1949 Mao Zedong memproklamirkan berdirinya negara baru yakni Republik Rakyat Cina.

Peran Mao Zedong di sini adalah menjadi pemimpin sekaligus mengarsiteki negara baru, di mana rekonstruksi ini tidak hanya mengubah dalam sistem pemerintahan saja, melainkan juga pandangan dunia internasional terhadap bangsa Cina, dan yang paling terpenting adalah cara pandang masyarakat Cina terhadap kelompok mereka sendiri. 

Di mana Cina pada masa itu identik dengan kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan. Selain itu pasca perang Cina-Jepang dan juga perang saudara dengan Partai Nasionalis, Cina berada dalam kondisi yang buruk. Di mana pada masa itu Cina mengalami inflasi mencapai 85.000%.

Dari sini Mao Zedong memutar otak untuk mencapai ide-ide utopisnya. Dari masalah-masalah di atas, yang paling memprihatinkan adalah masalah ekonomi negara, apabila dibiarkan saja dan tidak melakukan rekontruksi maka negara akan berada dalam keterpurukan.

Hal ini kemudian yang menjadi siasat partai komunis Cina untuk memfokuskan pada pembangunan yang kaitannya dengan perekonomian negara. Antara lain, perbaikan pada pabrik-pabrik, meningkatkan produksi, memperbaiki fasilitas-fasilitas transportasi serta juga mengendalikan inflasi negara dan mengerem pengeluaran-pengeluaran pemerintah demi mencapai ekonomi yang diharapkan pada saat itu. (Ririn Darini, 2010: 24)

Langkah pertama yang harus dilakukan Mao Zedong adalah mempersiapkan landasan-landasan pembangunan menuju suatu negara sosialis industri modern. 

Akhirnya koalisi berhasil dibentuk oleh partai dengan tugas awal yakni menyelesaikan masalah-masalah mendesak dalam rangka upaya rekontruksi dan konsolidasi Republik Rakyat Cina. Hal ini disusun Mao dalam karangannya berjudul New Democracy (1940) dan On Condition Government (1945). (Sri Harmini, 2004: 60)

Upaya Rekonstruksi dan Konsolidasi Republik Rakyat Cina

Kebijaksanaan dan upaya-upaya pembangunan negara dalam periode rekonstruksi dan konsolidasi, berkiblat sepenuhnya pada pemikiran sosialisme Mao Zedong. (Leo Agung, 2014: 36). Pemikiran Mao sering disebut sebagai Maoisme. Di mana pemikiran-pemikiran Mao berdasarkan gagasan-gagasan pemikir sosialisme seperti Karl Marx, Engels, Lenin, dan Stalin yang disesuaikan dengan situasi obyektif negara Cina pada masa itu dan dipadukan dengan pengetahuan intelektual pribadi serta pengalaman-pengalaman perjuangan revolusi Mao Zedong, sehingga menghasilkan suatu konsep pemikiran yang pragmatis. (Ririn Darini, 2010: 7)

Salah satu karakteristik dari konsep pemikiran Mao adalah menempatkan pembangunan sektor pertanian pada tingkat teratas. Di sini Mao menekankan bahwasanya masyarakat sosialis modern bisa dicapai melalui suatu proses transformasi yang  terjadi di daerah pedesaan.

Menurut Mao Zedong, hasil dari pembangunan dalam sektor pertanian di pedesaan harus tetap berada di tangan penduduk desa dan tidak boleh dibawa untuk mensuplai pembangunan industri di perkotaan. Hal ini dimaksudkan untuk memperbaiki masalah gizi, kesehatan, pelayanan sosial, dan pendidikan petani, serta dalam rangka menyediakan dana untuk membangun industri di pedesaan atau untuk membantu industri di perkotaan yang menunjang pembangunan dalam sektor pertanian. (Leo Agung, 2014: 36-37)

Pembangunan sektor pertanian memang tidak mudah, dibutuhkan analisis yang kuat, kesabaran, dan sikap prihatin dalam rangka upaya membangun sektor pertanian. Produksi bisa-bisanya gagal dan tidak mencapai apa yang diharapkan. Hambatan yang di depan mata adalah terdapatnya perbedaan nilai tukar komoditi pertanian dengan komoditi industri. Hal ini disebabkan oleh beban pajak yang memberatkan para petani. Perbedaan nilai tukar kedua komoditi mungkin juga disebabkan oleh manipulasi mekanisme harga di pasar.

Mao menganalisis hal ini, menurutnya  nilai tukar antara komoditi pertanian dengan komoditi industri harus mengikuti arah garis yang menuju pada pengurangan perbedaan upah buruh dan industri. Agar dapat tercipta kondisi seperti ini, maka harga komoditi industri harus dijaga agar tetap stabil. Mao juga mengatakan bahwa faktor penjualan diusahakan makin besar, sedangkan pendapatan para petani di desa diusahakan mengalami peningkatan secara kesinambungan.

Prinsip “dahulukan sektor pertanian” adalah pertimbangan yang lebih baik menurut Mao. Hal ini terutama dengan upaya mengembangkan sistem usaha tani yang memiliki skala besar, yakni sekitar 500-1000 hektar untuk setiap unit produksi. Upaya ini dilakukan oleh Mao Zedong secara radikal dalam tempo singkat, melalui dua mekanisme.

Pada tahap pertama, melakukan pengambilan tanah-tanah pribadi milik petani untuk pembentukan koperasi-koperasi rakyat, mulai dari Huzhuzu (kelompok-kelompok kerja kecil), Nangye Shencan Hezuosile (koperasi produsen pertanian) dan Gaoji (koperasi produsen pertanian yang lebih maju). (Leo Agung, 2014: 37-38)

Pada tahap yang pertama ini, orang-orang masih memegang hak dan pemilikan kolektif alat-alat produksi masih berada dalam skala yang belum penuh benar. Kemudian untuk tahap kedua yakni pada tahap tertinggi hak milik perseorangan sudah tidak ada lagi, apa lagi tanah-tanah pertanian pribadi. Hal ini disebabkan telah terbentuknya komunitas komunal rakyat di dalam komune-komune rakyat yang struktur organisasinya terdiri atas tim produksi, brigade produksi dan komponen penguasaan kolektif atas alat-alat produksi berlaku untuk keseluruhan.

Karena struktur masyarakat Cina dalam periode rekonstruksi dan konsolidasi mengandung sistem hubungan produksi feodalisme dan kapitalisme yakni suatu formasi sosial yang terdiri dari beberapa cara produksi maka mau melakukan pembaharuan sistem pemilikan tanah atau land refrom.

Pada masa itu, kebijakan land reform yang dijalankan beragam, hal ini dikarenakan perbedaan wilayah dalam kebijakan land reform tersebut hanya sedikit jumlah tanah yang kemudian diambil alih redistribusi tanah berdasarkan jumlah yang setara per orang dan pendaftaran pendukung dari petani kaya pedagang kecil dan kelas intermediasi. 

Lahirnya reformasi tanah merupakan kebutuhan ekonomi masyarakat baru, Mao Zedong dan partai komunis berusaha mendapat dukungan politik sekitar 70% petani miskin dari 500 juta penduduk pedesaan Cina. Ada dua alasan pokok untuk melancarkan reformasi ini, yaitu menghancurkan kelas bangsawan tuan tanah untuk menghilangkan potensi ancaman kontra dan mendirikan pusat kekuasaan politik komunis di desa-desa.

Langkah kebijakan ini diperkenalkan kepada rakyat melalui berbagai kampanye yang berbentuk gerakan masa kampanye sebagai kebijakan untuk mendistribusikan kembali kepemilikan tanah pada petani petani miskin dan sekaligus menghancurkan lapisan tuan tanah. 

Untuk itu petugas-petugas agitator dibentuk oleh Mao Zedong dan dikirimkan segera oleh partai komunis ke setiap desa sampai daerah yang terpencil sekalipun. Mereka muncul di desa desa dengan tugas menggolongkan penduduk apakah ia termasuk golongan proletar sejati ataukah termasuk dalam golongan tuan tanah atau petani kaya.

Mao Zedong mendeklarasikan bahwa panduan dasar land reform pada saat itu adalah menyadarkan diri pada petani miskin, bersatu dengan petani menengah, tidak mengganggu kepentingan petani kaya baru, dan menghapus tuan tanah feodal sebagai kelas. 

Kebijakan ini memang berhubungan erat dengan perjuangan partai komunis yang di saat itu pada dasarnya didasarkan atas tahap I: yakni memenangkan perjuangan politik revolusioner, tahap II: memenangkan perjuangan ekonomi produksi melalui, 1. land reform, 2. menjalankan penyelidikan pertanahan, 3. mengembangkan koperasi dan gotong royong dan, 4. mencapai pengembangan pertanian dan industri dari kekuatan produktif, dan tahap III:  memenangkan perjuangan ideologi dan kebudayaan. (Ririn Darini, 2010: 26)

Dalam melaksanakan upaya land reform Mao Zedong menempuh tahap-tahap di antaranya:

Pertama, melakukan penelitian, studi dan analisis terhadap situsai di berbagai daerah pedesaan, berbagai lapisan, dan penentuan kelas dalam masyarakat. 

 Kedua, menetapkan garis-garis politik berdasarkan situasi yang nyata serta mengembangkan sedemikian rupa sesuai dengan keadaan dan tempat setingkat demi setingkat. 

Ketiga, pada langkah pertama dapat dipakai isu turun sewa dan turun bunga sebagai langkah persiapan untuk menetralisir tani sedang dan tani kaya guna melakukan pukulan terakhir terhadap kaum reaksioner dan tuan-tuan tanah sisa-sisa feodal. 

Keempat, untuk mempertinggi taraf kebangkitan dan memobilisasi massa, tanah milik tuan tanah disita lalu dibagikan secara merata. Pada tahap ini seluruh sistem feodal dihapuskan.

Seperti yang telah kami bahas di atas, mayoritas petani Cina yang meliputi 70-90% dari seluruh lapisan masyarakat mendukung dengan semangat kampanye gerakan land reform karena mereka sendiri berkepentingan terhadap redistribusi tanah yang disusun dalam undang-undang land reform.

Di samping itu, para petani menganggap hal ini politik redistribusi tanah sebagai tahap akhir dari revolusi sosialis, mereka menerima karena menganggap kampanye gerakan land reform merupakan tahap terakhir dari revolusi sosialis Mao Zedong, dan ronisnya mereka tidak menganggap akan akan terjadinya lagi kebijaksanaan akan radikal tapi dalam praktiknya mereka masih menjumpai kebijaksanaan radikal Mao Zedong yang dihadapi oleh para petani. (Leo Agung, 2014: 39)

Kemudian kampanye berikutnya yang dilakukan pemerintah dalam rangka menciptakan struktur masyarakat yang merata adalah gerakan menindas yang ditujukan untuk kaum kontra-revolusioner. Kampanye ini diarahkan pada para petani yang pemerintah curigai sebagai unsur borjuis dan pendukung lama partai kuomintang.

Cara-cara penyelesaian dalam kampanye gerakan land reform digunakan lagi oleh Mao Zedong, contohnya adalah pengadaan “rapat perjuangan” dan “regu perjuangan” yang anggotanya sendiri terdiri dari petugas-petugas agitator partai yang mengatasnamakan rakyat banyak.

Hal ini menimbulkan masalah baru, yakni terjadinya penahanan secara besar-besaran atas rakyat yang dicurigai sebagai borjuis, padahal belum tentu semua yang ditangkapi adalah borjouis atau pendukung partai koumintang. 

Diperkirakan antara 3 sampai 4 juta orang dikirim ke kamp-kamp kerja paksa untuk mengikuti program pembaharuan melalui kerja yang dicanangkan oleh Mao Zedong. Berdasarkan laporan ada di antara penduduk yang dikirim itu tinggal di tempat tempat kerja fisik sampai bertahun-tahun lamanya.

Dalam pelaksanaan land reform para target dipaksa dikumpulkan di depan massa aksi yang bersenjatakan. Setelah itu para massa aksi diinstruksikan untuk menyerbu tuan tanah tersebut dengan kebrutalan yang tidak dapat diungkapkan. Partai sendiripun tidak serta merta melarang aksi tersebut bahkan cenderung mendukung penuh apa yang dilakukan oleh kader-kader komunis China. 

Partai juga menilai bahwa kekejaman yang dilakukan oleh kadernya adalah bentuk pembalasan dendam atas apa yang mereka alami ketika menjadi buruh. Partai Komunis juga akan menyingkirkan siapa saja yang berusaha menghalangi berbagai program land reform. Bagi kader partai yang tidak melakukan kekerasan maka akan dianggap sebagai penghalang cita-cita partai dan harus segera disingkirkan.
Hampir seluruh daerah yang mempunyai kader komunis Mao diinstruksikan untuk melakukan kekerasan terhadap tuan tanah dan lintah darat. Kekerasan fisik yang kejam dan bengis berlangsung di daerah-daerah yang dikuasai pasukan merah. (Ririn Darini, 2010: 30)

Republik Rakyat Cina di bawah kepemimpinan Mao Zedong sangat mementingkan pertimbangan politik, Mao Zedong menganggap politik sebagai panglima tertinggi, oleh karena itu, walaupun keadaan perekonomian Republik Rakyat Cina sangat memprihatinkan––di mana inflasi terjadi dan mencapai tingkat yang luar biasa––Mao Zedong tetap mengambil keputusan untuk bergabung dalam Perang Korea tahun 1951.

Mao Zedong melihat situasi internasional dari sudut pandang musuh dan sahabat. Dalam hal ini Cina dengan tegas menunjuk pihak Amerika––sebagai pemimpin kubu imperialis––merupakan musuh utama Cina, sedangkan pihak Uni Soviet sendiri––yang memimpin blok sosialis––dianggap sebagai sahabat. Hal ini kemudian lebih dikenal dengan istilah “kebijaksanaan condong ke satu pihak” (lean to one side).

Cina memilih untuk condong ke pihak Soviet untuk memerangi imperialisme dan kolonialisme. Sikap ini dimanifestasikan oleh Republik Rakyat Cina melalui kebijaksanaan luar negeri yang mendukung sepenuhnya semua posisi Uni soviet dalam masalah-masalah internasional dan menjalin hubungan erat dengan negara-negara sosialis. Republik Rakyat Cina sangat menjalin hubungan erat dengan unsur-unsur gerakan komunis di dunia dan mendukung mereka menjalankan revolusi menjatuhkan pemerintahan non-komunis di negara masing-masing. 

Ketika pecah Perang Korea pada Juni tahun 1950, Republik Rakyat Cina memberikan dukungan kepada Korea Utara dengan mengirimkan pasukannya. Di bawah pimpinan Jenderal Peng Dehuai tentara China yang berjumlah 130.000 orang menyeberangi Sungai Yalu dan berhadapan dengan pasukan Amerika Serikat. Sampai berakhirnya Perang Korea pada tahun 1953 tidak kurang satu juta tentara Cina tewas dalam Perang Korea––termasuk diantaranya putera Mao Zedong.

Dari sini bisa dilihat, bahwa Mao Zedong telah keluar dari tugas utama––yang telah ditetapkan semula yakni menyelesaikan program land reform dan memerangi inflansi memprihatinkan yang dialami Republik Rakyat Cina. Untuk merekonstruksi kembali ekonomi Republik Rakyat Cina yang hancur akibat Perang Saudara dan Perang Cina-Jepang, Mao Zedong dengan mudahnya mengambil keputusan baru.

Menurut Mao Zedong menerjunkan diri dan bergabung dalam perang korea berkaitan dengan perjuangan melawan imperialisme barat yang membawa kembali sistem kapitalis dan itu merupakan musuh utama Republik Rakyat Cina.

Akhirnya Mao Zedong membuat gerakan baru dalam rangka menentang Amerika. Gerakan menentang Amerika digerakan Mao Zedong di dalam negeri sendiri. Tujuannya adalah untuk mengikis habis habisan sisa-sisa dari pengaruh kebudayaan barat yang dinilai mengandung praktik-praktik kehidupan kapitalis yang dapat merusak struktur kehidupan sosial yang sedang dibangun. Gerakan ini diarahkan kepada para misionaris asing dan penduduk Republik Rakyat Cina yang beragama Kristen.

Tidak hanya itu, beberapa kebijakan radikal terus digencarkan oleh pemerintah Republik Rakyat Cina, dalam berbagai gerakan, seperti gerakan pembaharuan pemikiran yang dilancarkan pada tahun 1951 sampai tahun 1952. Gerakan ini diarahkan kepada kaum intelek. Dalam hal ini aksi kekerasan tetap berlangsung dan semuanya dalam rangka upaya membentuk kehidupan sosialis. Demikian juga untuk gerakan pembaharuan peradilan yang dilakukan oleh pemerintah pada tahun 1952 dan bersangkut paut dengan sistem hukum diantaranya untuk menghapuskan lembaga pengacara. (Leo Agung, 2014: 41)

Mao Zedong sangat antusias sekali melakukan tindakan destruktif terhadap kehidupan para pengusaha swasta, tuan tanah/ petani kaya, kaum birokrat, pemimpin agama dan para pengikutnya, kaum cendekiawan, dan para kritikus pihak oposisi. 

Menurut Mao Zedong kontruksi masyarakat sosialis akan sangat sempurna apabila sumber-sumber penyebab munculnya sistem kapitalis dilenyapkan dari Republik Rakyat Cina. Sumber-sumber munculnya sistem kapitalis menurut Mao Zedong antara lain semangat berkompetisi, kebebasan individu, kehidupan yang eksklusif, elitis profesionalisme, teknokratis, dan dipenuhinya rangsangan material akibat perkembangan nilai kultural agama dan intelektual, maka dari itu semuanya harus dilenyapkan, guna mencapai kehidupan masyarakat yang sosialis. (Leo Agung, 2014: 42)

Atas dasar pemikiran di atas pada program kebijakan selanjutnya, Mao Zedong kemudian mempelopori gerakan aktivitas massal pada tahun 1953, guna menghancurkan tatanan kehidupan keluarga tradisional masyarakat Cina yang konservatif.

Pemerintah melancarkan gerakan pelaksanaan undang-undang perkawinan dalam aktivitas ini praktik “rapat perjuangan” digunakan lagi, setiap istri dan anak perempuan dan setiap warga dipaksa untuk mencela suami dan ayah mereka masing-masing. 

Gerakan pelaksanaan UU perkawinan ini kemudian menimbulkan pandangan yang pro dan kontra di antara anggota masyarakat yang fanatik dengan ajaran Mao Zedong atau mereka yang tetap memegang teguh nilai-nilai tradisional Cina. Kebijakan pemerintah tersebut menyebabkan terjadinya gelombang bunuh diri oleh kaum laki-laki yang merasa tercela, maupun oleh kaum perempuan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Trilogi Pembangunan Orde Baru: Pengertian, Kebijakan, dan Dampak

Misteri Pesugihan Pohon Ketos di Kecamatan Trucuk Kabupaten Klaten

Perpecahan Sosial Politik India Setelah Masuknya Islam