Doktrin Angkatan Laut Jepang Pasca Tsushima
a.
Sato
Tetsutaro
Salah satu
tokoh yang sangat berpengaruh dalam kebijakan Angkatan Laut Jepang saat itu
adalah Sato Tetsutaro (1866-1942). Ia merupakan otak dari Angkatan Laut Jepang.
Karirnya dimulai saat perang Sino-Jepang dan berpengalaman di Pertempuran
sungai Yalu di atas kapal Amagi.
Sebelumnya, ia pernah menghasilkan tesis mengenai Invasi Jepang ke Korea pada
abad ke-16 berjudul kokubo shitetsu
(Pandangan pribadi mengenai pertahanan) yang mana menekankan bahwa kekuatan
Angkatan Laut lebih penting daripada Angkatan Darat sebagai pertahanan
Kekaisaran Jepang
Tahun 1899,
Yamamoto Gombei sebagai Laksamana Angkatan Laut mengirim Sato menuju Inggris
untuk studi mengenai strategi Angkatan Laut. Sato sepulang dari Inggris
langsung menuju ke Amerika Serikat selama 6 bulan untuk riset lalu pulang ke
Jepang pada tahun akhir tahun 1901. Setelah kepulangannya, Yamamoto
memerintahkan untuk menyusun manifesto untuk mendapatkan dana lebih dari
pemerintah pada tahun 1902. Ia menghasilkan tesis berjudul Teikoku kokubo ron (Pertahanan Kekaisaran), menjelaskan mengenai
pentingnya mengalahkan musuh yang mengancam Jepang di luar laut teritorial Jepang.
Sehingga dalam hal ini, Angkatan Laut harus diprioritaskan. Namun hasil riset
tersebut justru menghasilkan kemarahan berbagai pihak dan berimbas pada
pemotongan anggaran Angkatan Laut
Empat tahun
berikutnya, Ia lebih banyak bertugas di laut. Tahun 1906, ia kembali ke
Perguruan Tinggi Staff Angkatan Laut sebagai mahasiswa dan kemudian menjadi
instruktor pada tahun 1907. Pada saat yang sama, Sato menulis tesis berjudul Kaibo shi ron (Sejarah Pertahanan Angkatan Laut) dan Teikoku Kokubo shi ron (Sejarah
Pertahanan Keikaisaran). Dalam tesisnya, Sato kembali menegaskan pentingnya
Angkatan Laut bagi negara kepulauan seperti Jepang. Dalam tesisnya juga,
walau membahas mengenai pertahanan yang
bersifat defensif, Sato mendukung Angkatan Laut yang bersifat ofensif sebagai
langkah untuk melindungi Jepang. Ia juga merupakan pendukung dari Kantai Kessen yang kemudian menurun ke
murid-muridnya yang kemudian menciptakan kegemaran akan “big ship, big guns”
atau taikan kyoushoshugi
Salah satu
idenya yang terkenal adalah ide “Angkatan Laut 70 persen”. Dalam hal ini, Sato
merumuskan untuk melindungi Jepang dari laut, Angkatan Laut Kekaisaran Jepang
harus memiliki setidaknya 70 persen kekuatan dari “hipotesis musuh”. Sebenarnya
strategi ini sudah diterapkan oleh Royal Navy Inggris dengan menetapkan mereka
harus memiliki sebuah armada yang setara dengan armada gabungan dari dua
kekuatan besar setelah Royal Navy, hal ini untuk mempertahankan pengaruhnya di
dunia. Dalam hal menentukan hipotesis musuh, Sato pada mulanya meyakini bahwa
Jerman lah yang menjadi ancaman bagi Jepang saat itu. Hal ini mengingat
perlombaan Angkatan Laut Anglo-Jerman, kepentingan Jerman di China yang
mengancam kepentingan Jepang, dan pengembangan armada Jerman di Asia Timur.
Namun pada akhirnya, Sato merubah pikirannya dengan menetapkan Amerika Serikat
lah yang menjadi ancaman bagi Jepang saat itu. Walaupun hubungan Jepang-Amerika
saat itu baik-baik saja, namun Amerika Serikat yang juga sedang mengembangkan
Angkatan Lautnya membuat Sato merasa Amerika Serikat dapat membahayakan
kepentingan Jepang dan Jepang itu sendiri. Amerika Serikat sendiri saat itu
memiliki wilayah koloni di Filipina. pada tahun 1913, Sato memberikan prediksi
kekuatan Angkatan Laut Amerika Serikat pada tahun 1920 yaitu mencapai 60 kapal
utama, dengan perkiraan 35 kapal model Dreadnougth
yang merupakan kapal tempur paling modern saat itu.
b. Kantai Kessen
Tak dapat
dipungkiri lagi, kemenangan gemilang Jepang di Pertempuran Tsushima membuat
Jepang terbawa akan hawa kemenangan yang kuat. Kemenangan mutlak Jepang di
Tsushima menandakan kemenangan Jepang atas Rusia yang memiliki kekuatan lebih
besar serta mematahkan legenda bahwa bangsa Eropa tak terkalahkan bagi bangsa
Asia. Hal ini kemudian menjadikan Jepang terobsesi dengan doktrin Kantai Kessen (Pertarungan penentu) yang
terbukti sukses di Tsushima. Hal ini menjadikan Kantai Kessen menjadi doktrin dan sebagai garis besar strategi yang
justru akan melemahkan Jepang kedepannya
Kantai Kessen merupakan doktrin Angkatan Laut Kekaisaran
Jepang pada masa itu. Kantai Kessen
atau “Pertempuran Penentu di Laut” diambil dari pengalaman Jepang melawan Rusia
di Tsushima. Doktrin ini menekankan pada sangat penting untuk mengalahkan musuh
di luar laut teritorial Jepang. Untuk memenangkan perang, Jepang harus bisa
memberikan satu pukulan telak kepada musuh dalam satu pertempuran. Tentu
doktrin ini menghindari peperangan jangka panjang, menyesuaikan dengan kekuatan
Jepang yang mana masih inferior dibanding kekuatan negara lain. Mengingat pada
pertempuran Tsushima, armada Rusia lebih superior dalam hal kuantitas daripada
Jepang. Namun, Jepang dapat mengalahkannya dengan kekuatan dan akurasi meriam
kapal tempur yang akhirnya berhasil mengakhiri pertempuran maupun peperangan.
Jepang berfikir bahwa konfrontasi kelak juga akan didasari oleh kekuatan kapal
tempur
Keefektifan
kapal tempur pada pertempuran Tsushima juga memengaruhi pengembangan kekuatan
Angkatan Laut Jepang kedepannya. Jepang lebih berfokus dengan kapal tempur
karena kapal tempur memiliki kekuatan dan ketahanan luar biasa yang dibutuhkan
dalam doktrin Kantai Kessen. Kegemaran
ini disebut dengan taikan kyoushoshugi
atau big ship, big gun. Dari dasar
ini, Jepang memulai pengembangan Angkatan Lautnya dalam usaha memenuhi
“Angkatan Laut 70 persen” gagasan Sato Tetsutaro. Kegemaran akan kapal tempur
pun sebenarnya sedang melanda Angkatan Laut dunia. Hal ini didasari dengan
munculnya HMS Dreadnought yang
merupakan kapal tempur paling modern pada tahun 1906
c. Hachihachi Kantai
Dari
program “Angkatan Laut 70 persen” oleh Sato Tetsutaro dan doktrin Kantai kessen, Angkatan Laut Kekaisaran
Jepang mulai mengembangkan kekuatan mereka dengan berfokus pada kapal tempur
dan kapal penjelajah tempur. Hal ini tidak lepas dengan munculnya kapal tempur HMS Dreadnought dan kapal penjelajah
tempur HMS Invicible yang kemudian
merubah wajah Angkatan Laut Royal Navy dan
dunia saat itu. Inggris, Jerman, Amerika Serikat, dan Jepang jatuh pada
perlombaan senjata Angkatan Laut dengan membangun kapal serupa dengan Dreadnought dan Invicible
Pada
tahun-tahun sebelumnya, Jepang yang sudah dapat membangun kapal mereka sendiri
di Kure dan Yokosuka, membangun kapal penjelajah berpelindung Tsukuba dan Ikoma pada tahun 1905-1906. Dilanjutkan dengan pembangunan versi
pengembangan dari Tsukuba, yaitu Kurama dan Ibuki. Namun keduanya dibangun tanpa memperhatikan model baru dari Invicible. Dan pada tahun 1909-1912,
Jepang mampu membangun kapal tempur Dreadnought
mereka, Settsu dan Kawachi.
Pada tahun
1910, Angkatan Laut berambisi untuk merealisasikan ambisi Hachihachi Kantai mereka
pada sekali proses. Hachihachi Kantai
merupakan program ambisius Angkatan Laut Kekaisran Jepang untuk membangun
delapan kapal tempur dan delapan kapal penjelajah berpelindung (atau di kemudian
hari berubah menjadi penjelajah tempur). Angkatan Laut meminta kementrian untuk
menyiapkan dana bagi program ambisius mereka. Namun karena dirasa biaya yang
dikeluarkan akan terlalu besar, maka dari pihak Angkatan Laut terpaksa untuk
mengurangi proposal mereka menjadi tujuh kapal tempur dan tiga kapal penjelajah
berpelindung. Namun dari kementrian hanya menyetujui satu kapal tempur dan
empat kapal penjelajah berpelindung. Dana cair pada tahun 1911
Dalam memanfaatkan dana ini, Angkatan Laut
sebelumnya telah merancang kapal penjelajah berpelindung (kapal penjelajah
tempur). Mereka merancang desain ini berdasarkan pengembangan dari desain kapal
penjelajah tempur HMS Invicible.
Hingga akhirnya tercipta desain pengembangan Invicible, yaitu Kongou.
Dalam pembangunannya, Jepang bekerja sama dengan Inggris, tepatnya pada
perusahaan Vickers. Namun dalam perkembangannya, Jepang mengetahui bahwa Royal Navy sudah jauh lebih dahulu
mengembangkan kapal penjelajah tempur mereka dengan munculnya HMS Lion. Jepang segera merombak desain Kongou dengan meminta dari pihak
Vickers untuk merancang versi pengembangan dari HMS Lion. Akhirnya desain disetujui oleh pihak Jepang dan kontrak
ditandatangani pada 17 Oktober 1910. Kongou
diluncurkan pada 18 Mei 1912 dan menjadi kapal penjelajah tempur paling modern
saat itu, dan menjadi kapal tempur terakhir yang dibangun di luar Jepang.
Setelahnya Jepang mampu membangun kapal mereka secara mandiri
Dengan
dana yang sama, Jepang segera membangun kapal tempur Fusou di galangan kapal Kure. Fusou
mulai dibangun pada tahun 1912 dan selesai pada tahun 1915. Dibangun untuk
menandingi kapal tempur Amerika Serikat, USS
Texas dan USS New York, Fusou dibangun dengan dasar dari desain Kongou dan dengan pengembangan dari
rivalnya, Fusou dipersenjatai dengan
12 meriam kaliber 14 inchi dan dengan ukuran yang lebih besar dari rivalnya
serta kecepatan mencapai 23 knot, menjadikan Fusou menjadi kapal tempur paling besar dan paling kuat saat itu.
Dilanjutkan pada tahun 1913, Angkatan Laut mengajukan proposal dana lagi kepada
pemerintah untuk penambahan tiga kapal tempur.
Proposal disetujui dan Angkatan Laut memulai pembangunan adik dari Fusou, Yamashiro¸ yang selesai pada
tahun 1915. Dan dengan adanya dana untuk 2 kapal tempur lagi, Angkatan Laut
membangun kapal tempur Ise di
galangan kapal Kawasaki di Kobe dan Hyuga
di galangan kapal Mitsubishi di Nagasaki. Keduanya selesai antara tahun
1917-1918 sebagai pengembangan dari model kapal tempur Fusou dan Yamashiro.
Pada perang dunia pertama, Shimamura Hayao
menjadi staf umum Angkatan Laut dan Kato Tomosaburo menjadi menteri Angkatan
Laut. Dalam perkembangannya, ambisi Hachihachi
Kantai mulai diangkat lagi. Dengan sudah adanya 1 kapal tempur Fusou dan empat kapal penjelajah tempur Kongou, Hiei, Haruna, dan Kirishima, dan juga dengan pembangunan 3
kapal tempur Yamashiro, Ise, Hyuga,
yang masih dalam proses pembangunan. Angkatan Laut mengajukan proposal dana
untuk sisa empat kapal tempur dalam mewujudkan Hachihachi Kantai. Namun ditolak karena pada saat itu kepercayaan
kepada Angkatan Laut sedang menurun karena adanya skandal pembelian. Namun pada
tahun 1916, pemerintah menurunkan dana kepada Angkatan Laut untuk pembangunan
satu kapal tempur dan 2 kapal penjelajah tempur. Hal ini berbanding terbalik
dengan kondisi di Amerika Serikat, yang mana pemerintah Amerika Serikat
menyetujui pengajuan proposal dana pembangunan 156 kapal perang, termasuk 10
kapal tempur dan 6 kapal penjelajah tempur. Menyikapi hal ini, pemerintah
Jepang akhirnya mengucurkan dana untuk pembangunan 63 kapal perang, termasuk 3
kapal tempur dan 10 kapal penjelajah (penjelajah ringan maupun penjelajah
berat) pada tahun 1917. Kemudian pada tahun 1918, pemerintah Jepang kembali
mengucurkan dana untuk pembangunan sisa dua kapal penjelajah tempur. Hal ini
menjadikan ambisi Hachihachi Kantai sudah
di depan mata
d.
Hiraga Yuzuru dan penyelesaian
ambisi Hachihachi Kantai
Dalam penyelesaian ambisi Hachihachi Kantai, sisa dari kapal tempur dan kapal penjelajah
tempur untuk penyelesaian ambisi ini dikerjakan oleh Hiraga Yuzuru. Ia
merupakan insinyur perkapalan lulusan Universitas Tokyo. Ia memulai
pekerjaannya pada pengerjaan Yamashiro
pada tahun 1912, dan menjadi ketua insinyur untuk pembangunan ambisi Hachihachi Kantai. Ia kemudian mendesain
kapal tempur Nagato dan Mutsu yang mulai dibangun pada tahun
1917 dan 1918 dengan dana dari pencairan dana tahun 1916-1917. Keduanya di
desain beberapa bulan sebelum pertempuran Jutland, salah satu pertempuran kapal
tempur terbesar yang pernah terjadi. Setelah berita mengenai Jutland sampai ke
Jepang, Hiraga segera membenahi desainnya dengan mengubah kecepatan kapal
maksimal 26,5 knot dan meriam 16 inchi untuk menandingi kapal tempur Inggris
kelas Queen Elizabeth.
Selanjutnya, Hiraga kembali mendesain kapal
tempur kelas Tosa, yaitu Tosa dan Kaga pada tahun 1917. Direncanakan Tosa dan Kaga akan
memiliki 10 meriam 16 inchi. Pada tahun 1919, Hiraga kembali mendesain kapal
penjelajah tempur Amagi dan Akagi. Direncanakan Amagi dan Akagi juga akan
mempunyai 10 meriam 16 inchi dengan kecepatan maksimal 30 knot untuk menandingi
HMS Hood dan proyek kapal penjelajah
tempur USS Saratoga.
Amerika Serikat yang juga sedang mengembangkan
kekuatan Angkatan Lautnya membuat Jepang juga berusaha untuk mengembangkan
kekuatan Angkatan Laut demi mengimbangi Amerika Serikat. Angkatan Laut
Kekaisaran Jepang bahkan merencanakan hal yang lebih jauh dari Hachihachi Kantai, yaitu tiga armada
tempur dengan masing-masing delapan kapal tempur dan kapal penjelajah tempur.
Namun hal tersebut ditolak mengingat dana yang akan dikeluarkan akan terlalu
besar untuk menciptakan proyek ambisius tersebut. Walau begitu, Hiraga tetap
mendesain kapal penjelajah tempur Atago dan
Takao sebagai adik dari Amagi dan Akagi
Pada akhirnya, pada tahun 1920, Pemerintah
Jepang menyetujui pengembangan Angkatan Laut dengan rencana seluruh pembangunan
akan selesai pada tahun 1927. Dengan kekuatan empat kapal penjelajah tempur
kelas Amagi dengan masing-masing
dipersenjatai 10 meriam 16 inchi, dan empat kapal tempur kelas Tosa dengan dipersenjatai 10 meriam 18
inchi. Namun pada kelanjutannya, rencana super ambisius tersebut gagal karena
Jepang memutuskan untuk bergabung dalam Traktat Angkatan Laut Washington pada
tahun 1922.
e.
Traktat Angkatan Laut Washington
Dunia yang dilanda perlombaan senjata pasca
perang dunia pertama menjadikan ketakutan akan munculnya konflik besar kembali.
Oleh karena itu, kekuatan besar saat itu merancang sebuah pembatasan untuk
membatasi jalannya perlombaan senjata Angkatan Laut. Akhirnya kekuatan besar
dunia memutuskan untuk mengadakan traktat untuk membatasi kekuatan mereka di
Washington.
November 1922, Charles Evans Hughens membuka Traktat
Angkatan Laut Washington. Traktat ini secara efektif membatasi perlombaan big ships, big guns selama 14 tahun
kemudian. Pertemuan yang diadakan pada tahun 1922 oleh Amerika Serikat,
Inggris, Jepang, Italia, dan Perancis. Isi dari traktat tersebut antara lain
membatasi tonase total kapal utama dari negara peserta. Amerika Serikat dan
Inggris mendapatkan jatah total tonase sebesar 525.000 ton, Jepang mendapat
jatah total tonase 315.000 ton, Italia dan Perancis mendapat jatah total tonase
175.000 ton (rasio 5:5:3:1:1). Traktat ini juga membatasi pengunaan meriam pada
kapal tempur dengan pelarangan penggunaan meriam kaliber mulai dari 16 inchi ke
atas. Traktat ini juga membatasi pembangunan kapal induk dengan maksimal berat 27.000
ton dan maksimal jumlah meriam sepuluh dengan kaliber maksimal 8 inchi. Untuk
kapal jenis lain hanya dibatasi tonase maksimal 10.000 ton dan meriam maksimal
8 inchi. Pembangunan kapal tempur pun ditunda selama 10 tahun setelah
pengesahan dengan catatan kapal yang tidak memenuhi syarat harus diubah atau
dihentikan pembangunannya
Banyak dari kalangan Angkatan Laut Kekaisaran
Jepang tak menyukai keputusan traktat tersebut. Usaha mereka untuk mewujudkan Hachihachi Kantai dalam waktu yang lama
langsung kandas begitu Jepang memutuskan untuk ikut dalam traktat tersebut.
Sebagai hasilnya, beberapa kapal yang sudah dalam proses pembangunan seperti Amagi dan Akagi akhirnya diubah menjadi kapal induk. Walau begitu, agak susah
untuk menyesuaikan beban tonase awal rencana keduanya dari 47.000 ton menjadi
27.000 ton sesuai batas beban tonase kapal induk dalam traktat. Amerika Serikat
juga mengalami kesulitan yang sama dalam mengubah pembangunan kapal penjelajah
tempur kelas Lexington menjadi kapal
induk. akhirnya diputuskan beban tonase maksimal dari kapal induk bertambah
menjadi 33.000 ton. Jepang yang juga sedang membangun dua sisa kapal penjelajah
tempur kelas Amagi, yaitu Atago dan Takao, serta 2 kapal tempur cepat (penggantian penyebutan bagi
kapal penjelajah tempur bagi Jepang) kelas Kii
hasil desain rancangan Hiraga, terpaksa dibatalkan
f.
Traktat Angkatan Laut London dan
keluarnya Jepang dari segala perjanjian
Sebagai akibat dari Traktat Angkatan Laut
Washington, banyak negara akhirnya membatalkan atau mengubah kapal tempur yang
sudah mereka bangun menjadi kapal induk. Termasuk Jepang yang mengubah beberapa
kapal tempur dan penjelajah tempurnya menjadi kapal induk. Namun dalam traktat
ini, pembangunan selain kapal induk dan kapal tempur hanya dibatasi pada jumlah
tonase maksimal 10.000 ton dan kaliber meriam maksimal 8 inchi
Celah ini kemudian ditutup oleh konferensi
Angkatan Laut London pada tahun 1930 untuk mengurangi tensi perlombaan senjata
Angkatan Laut. Hal ini diakibatkan banyak juga negara lain yang kemudian
memindahkan fokusnya menuju kapal penjelajah maupun kapal penghancur. Jepang
berbeda dengan masa konferensi Washington, Jepang memberikan interupsi pada rencana
penjatahan bagi Jepang karena Jepang perlu menjaga persentase 70% bagi kapal
perang lain untuk menjaga pertahanan nasional. Pada akhirnya Jepang dipaksa
menerima penjatahan 60% dari Inggris dan Amerika Serikat dengan alokasi bobot
maksimal untuk kapal penjelajah berat sebesar 108.400 ton dan 70% bagi kapal
penjelajah ringan dengan alokasi bobot maksimal 100.450 ton dan kapal
penghancur 105.500 ton. Sedangkan untuk kapal selam setara dengan negara-negara
lain dengan alokasi bobot maksimal 52.700 ton
Karena dirasa Traktat ini gagal, maka diadakan
konferensi kedua di London pada tahun 1934. Jepang diwakili oleh Isoroku
Yamamoto. Setelah berbagai perdebatan, akhirnya Jepang memutuskan untuk menolak
perjanjian ini pada Desember 1934. Kemudian diadakan konferensi lagi pada 1935
dan Jepang diwakili oleh Osami Nagano yang menjelaskan kembali posisi Jepang
saat itu yang mengingat Jepang sedang mengalami konflik dengan China sejak awal
tahun 1930-an. Akhirnya Jepang memutuskan untuk menarik delegasinya pada
Januari 1936. Jepang juga memutuskan untuk keluar dari Traktat Angkatan Laut
Washington yang akhirnya efektif berakhir pada tahun 1937 dan memulai
perlombaan senjata kembali
g.
Pembangunan kapal tempur kelas Yamato
Setelah lepas dari traktat Angkatan Laut
Washington, Jepang segera memulai pembangunan kekuatan Angkatan Laut mereka.
Mengingat traktat ini efektif berakhir pada tahun 1937, membuat berbagai negara
dengan kekuatan industri yang kuat seperti Amerika Serikat juga mulai
memperkuat Angkatan Laut mereka kembali. Ditambah hubungan Amerika Serikat dan
Jepang semakin memanas dengan tenggelamnya USS
Panay oleh Jepang di sungai Yangtze pada bulan Desember 1937
Untuk program Jepang sendiri, mereka membangun
kekuatan Angkatan Lautnya dengan program pembangunan berjangka yang dinamakan
“Program Lingkaran”. Sebenarnya program ini sudah berlangsung sejak awal traktat
Angkatan Laut London, dan sudah berlangsung dua sesi, yaitu Lingkaran I atau maru ichi keikaku dan Lingkaran II atau maru ni keikaku. Keduanya berfokus pada
pembangunan kapal penjelajah dan kapal penghancur. Kemudian Lingkaran III atau maru san keikaku dimulai pada tahun
1937. Pada sesi ini, Jepang membangun kapal tempur “monster”, yaitu Yamato dan Musashi
Pembangunan kapal tempur super ini berdasarkan
kenyataan bahwa Jepang tak mungkin mampu menandingi kecepatan kekuatan industri
Amerika Serikat. Hal ini mengakibatkan Jepang kemudian berlomba untuk
meningkatkan kualitas dibandingkan kuantitas dari kekuatan mereka
Selanjutnya, pada maru yo keikaku, direncanakan akan mulai dibangun dua kapal lagi
sebagai pelengkap dari kapal tempur kelas Yamato.
Yang pertama adalah Shinano, yang
dibangun di galangan kapal Yokosuka. Mulai dibangun pada 4 Mei 1940, desain Shinano merupakan pengembangan dari desain
Yamato sebelumnya. Namun akibat dari
kekalahan telak Jepang di Midway, membuat Shinano
kemudian dikonversi menjadi kapal induk. Yang kedua adalah kapal perang nomer
111 yang belum diberi nama yang mulai dibangun pada bulan Agustus 1940 setelah Yamato diluncurkan. Namun karena
pecahnya perang dan kekurangan bahan pembangunan, maka pada tahun 1942
pembangunan nomor 111 dihentikan setelah 30%. Kemudian bagian-bagiannya diambil
untuk memodifikasi kapal tempur Ise
dan Hyuga menjadi kapal tempur induk
h.
Doktrin kapal tempur
Dalam doktrin Angkatan Laut Kekaisaran Jepang,
kapal tempur merupakan ujung tombak dari setiap pertempuran laut. Tugas dari
kapal tempur adalah memberikan pukulan telak pada armada musuh, sedangkan kapal
lain seperti kapal penghnacur, kapal penjelajah, dan kapal induk bertugas
sebagai pembantu dalam menyelesaikan pertempuran. Tugas mereka adalah
meluncurkan torpedo dan bom untuk mengalahkan kapal musuh yang masih tersisa setelah
serangan dari kapal tempur selesai. Hal ini membuktikan bahwa Jepang masih
terpengaruh akan pertempuran Tsushima dalam pembentukan doktrin dan taktik
Angkatan Laut mereka. Hal ini berdasarkan revisi Instruksi Pertempuran tahun
1934.
Adapun taktik yang Jepang gunakan adalah
dengan menggunakan formasi lurus atau line-ahead
yang mana bertujuan untuk memperoleh posisi crossing
T terhadap musuh sehingga armada Jepang mampu memberikan serangan telak
bagi musuh dengan seluruh meriam kapal tempur. Estimasi Jepang untuk jumlah
kapal tempur untuk strategi ini adalah 16 kapal yang kemudian bisa dibagi
menjadi dua sentai atau divisi yang
terdiri dari 8 kapal. Jepang sendiri memiliki Sentai 1 berisi Nagato dan
Mutsu, Sentai 2 berisi Fusou,
Yamashiro, Ise, dan Hyuga, dan armada depan berisi Kongou, Hiei, Haruna, dan Kirishima yang bertugas membukakan jalan
bagi kapal penjelajah dan kapal tempur untuk memberikan serangan torpedo.
Salah satu taktik paling kontroversi dari
Jepang adalah taktik out-of range
yang digunakan oleh Jepang. Dalam taktik ini, armada Jepang akan menyerang
musuh dalam jarak 37.000 yard dari armada musuh. Menurut mereka, armada Jepang
bisa mendeteksi musuh pada jarak 44.000 yard dan mulai menyerang pada jarak
37.000 yard dengan akurasi 12% pada serangan jarak 35.000 yard dengan bantuan
pesawat pengintai. Dalam garis besar strategi, Sentai 1 dan Sentai 2
menjadi kekuatan utama Jepang dalam pertempuran musuh dengan strategi line-ahead dan memulai penyerangan pada
jarak 38.000 yard. Lalu setelah tugas mereka selesai, armada depan bertugas
mebukakan jalan bagi serangan torpedo secara masif ke armada musuh. Setelah
serangan torpedo selesai, maka Sentai 1 dan
Sentai 2 akan memberikan serangan akhir pada jarak
21.000-24.000 yard dengan formasi paralel. Cara seperti ini belum pernah teruji
dalam pelatihan
i.
Pengembangan kekuatan Udara
Angkatan Laut Jepang
Sejak Perang Dunia 1, kekuatan udara menjadi
salah satu kekuatan yang mulai diperhitungkan. Pada tahun 1920, Angkatan Laut
Jepang meminta asistensi kepada Inggris untuk membangun kekuatan udara mereka.
Inggris kemudian mengirimkan misi penerbangan yang dipimpin oleh Sir William
Francis Forbes Sempill yang tiba di Stasiun udara Angkatan Laut di Kasumigaura
pada November 1921. Dari misi ini, Inggris memperkenalkan berbagai senjata dan
perlengkapan dirgantara seperti bom, torpedo, senapan mesin, dan alat
komunikasi
Untuk produksi pesawat dilakukan oleh
industri swasta seperti Mitsubishi, Kawanishi, Nakajima, dan Aichi. Badan riset
Jepang menggunakan sistem sayembara untuk perusahaan swasta untuk mengirimkan
desain pesawat perang mereka dengan menimbang pada kriteria yang diberikan oleh
badan riset. Pemenang akan dikontrak untuk produksi pesawat berdasarkan desain
mereka. Mitsubishi yang mendapat tim desainer Inggris segera mengamankan
kontrak dan memproduksi pesawat serbu, pembom, dan pesawat tempur bagi kapal
induk Hoshou yang hampir selesai pada
tahun 1920-an. Aichi yang bekerjasama dengan Heinkel dari Jerman memproduksi
pesawat pembom tukik. Nakajima yang memilih mempekerjakan pekerja lokal
dibanding dengan tim dari luar negeri memproduksi pesawat kelas unggul untuk
Angkatan Darat dan Angkatan Laut. Kawanishi sendiri mendesain dan dikontrak
untuk memproduksi pesawat amfibi
Tahun 1936, Persenjataan Udara Angkatan Laut
atau Kaigun Kokusho didirikan di Yokosuka yang kemudian menjadi pusat
pengembangan kekuatan udara Angkatan Laut Jepang. Tahun 1920-1930-an, Jepang
sudah memiliki pesawat tempur yang bagus. Namun pada akhirnya pesawat tempur
Jepang sudah terbilang usang, terutama dengan kemunculan pesawat serang
berbasis darat yang superior di kecepatan dan jarak tempuh. Oleh karena itu, bagian
pengembangan kekuatan udara mengadakan sayembara kembali pada tahun 1934 dengan
kriteria pesawat yang ringan, cepat, dan mudah dikendalikan. Ditambah dengan
ketentuan khusus yaitu harus memiliki kokpit yang nyaman untuk visibilitas,
kecepatan rendah saat pendaratan, dan berdimensi kecil, mengingat pesawat ini
berbasis pada kapal induk dengan landasan pacu terbatas dan sistem penyimpanan
dengan elevator. Pemenang sayembara adalah perusahaan Mitsubishi dengan
desainnya yang dikenal dengan pesawat A5M Tipe 96 “Claude” dengan bahan metal,
satu kokpit, mesin bertenaga 500 tenaga kuda, dan senapan mesin 7,7 mm. Saat
demonstrasi dapat mencapai ketinggian 5000 meter dalam waktu kurang dari 6
menit dan dengan kecepatan maksimal 243 knot
Setelah kemunculan A5M, Jepang masih kurang
puas dengan laporan dari pilot mereka bahwa mereka masih memerlukan pesawat
yang lebih kuat dari A5M. Oleh karena itu, Departemen penerbangan Angkatan Laut
kembali membuka sayembara yang cukup terbilang tidak masuk akal dengan
ketentuan mampu membawa senjata yang seharusnya dibawa oleh pesawat yang lebih
besar dan berat namun kecepatan dan manuverbilitas yang hanya bisa dilakukan
oleh pesawat kecil dan ringan dan juga mesin pesawat harus ringan namun
bertenaga besar. Hal tersebut dapat diwujudkan oleh Horikoshi Jiro dan timnya
dari Mitsubishi dengan desain A6M Tipe 0 Zeke
atau lebih dikenal sebagai Mitsubishi Zero, dengan kecepatan maksimal 288 knot
dan jarak tempuh 1000 mil. Pesawat ini menunjukkan performa cukup mumpuni dalam
perang Sino-Jepang dan Perang Pasifik sampai ada pesawat Amerika Serikat yang
lebih mumpuni
Jepang juga mengembangkan pesawat pembom
tukik dan torpedo. Untuk pesawat torpedo, ada Nakajima B5N Tipe 97 Kate yang mampu menjalankan tiga peran,
yaitu sebagai pesawat torpedo, pembom, dan pengintai. Kate mampu membawa 800 kg torpedo atau bom dengan kecepatan
maksimal 200 knot. Pesawat ini menunjukkan performa cemerlang di China dan
Pearl Harbor. Untuk pesawat pembom tukik ada Aichi D3A Tipe 99 Val. Diproduksi oleh Aichi dengan model
pesawat produk Heinkel. Walaupun dari segi spesifikasi pesawat ini terbilang
inferior, pesawat ini menunjukkan performa cemerlang pada Perang Dunia 2
j.
Pengembangan kapal induk Jepang
Pada masa awal kapal induk, para desainer
sempat mendapat masalah dengan diberlakukannya Traktat Angkatan Laut Washington
yang membatasi maksimal tonase untuk kapal induk sebesar 27.000 ton. Hal ini
disebabkan karena kapal induk membutuhkan dek landasan pacu yang panjang, pusat
kontrol pesawat, hangar, tempat bahan bakar pesawat, tempat penyimpanan
amunisi, dan tempat perawatan. Walau akhirnya dengan permintaan Jepang dan
Amerika Serikat yang saat itu sedang mengubah kapal penjelajah tempur mereka
menjadi kapal induk, batas maksimal tonase dinaikkan menjadi 33.000 ton
Kapal induk pertama Jepang, Hoshou, memiliki panjang dek hanya 552
kaki dengan tonase kurang dari 8000 ton. Hoshou
hanya mampu membawa 20 pesawat, yang terdiri dari pesawat pembom, pesawat
tempur, dan pesawat pengintai. Dalam Perang Dunia 2 sendiri Hoshou hanya membawa pesawat tempur dan
terbatas untuk pelatihan pilot dan pertahanan garis belakang. Namun kapal ini
menjadi dasar bagi pengembangan kapal induk Jepang kedepannya
Pada tahun 1920-an, muncul kapal induk hasil
konversi sebagai imbas dari Traktat Angkatan Laut Washington, yaitu Akagi dan Kaga. Dengan model dek bertingkat dan meriam 8 inchi pada dek
tingkat pertama. Bersamaan dengan itu, 150 pesawat diproduksi untuk Akagi dan Kaga. Tahun 1930-an, Akagi
dan Kaga dimodifikasi dengan
menambahkan anjungan di bagian atas dek dan mengurangi meriam 8 inchi milik Kaga serta menghilangkan dek bagian
tengah menjadi satu dek landasan pacu di atas. Hal ini berdampak pada jumlah
maksimal pesawat yang diangkut yang semula hanya 60 pesawat lalu bertambah
menjadi 90 pesawat. Selain itu, elevator pesawat ditambahkan sehingga menjadi 3
elevator
Setelah munculnya Akagi dan Kaga, Angkatan
Laut ingin menambahkan kapal induk lagi dengan bobot kurang dari 10.000 ton
sebagai dampak dari traktat. Akagi dan
Kaga sendiri berbobot 54.000 dan
81.000 ton. Sebagai hasilnya, muncul kapal induk Ryujou yang hanya memiliki 1 hanggar dan hampir tanpa pelindung
baja. Karena dirasa terlalu kecil, Ryujou
akhirnya ditambahi 1 hangar yang menambah bobotnya menjadi 12.000 ton dan
membuatnya kurang stabil. Namun pada tahun 1934-1936, Ryujou menjalani modifikasi sehingga menjadikannya lebih stabil
Dari pembangunan Ryujou, Angkatan Laut kembali merencankan pembangunan kapal kelas Souryuu. Sebelumnya, kapal kelas ini
direncanakan akan dibangun sebagai kapal gabungan antara kapal penjelajah dan
kapal induk, mengingat keterikatan Jepang dengan traktat. Namun akhirnya pada
tahun 1932, Jepang yang melihat celah untuk keluar dari traktat menjadikan
kapal kelas ini menjadi kapal induk murni. Souryuu
selesai pada tahun 1936 dengan double
deck hangar dan kapasitas pesawat maksimal 68 buah dengan bobot 16.000 ton.
Dengan cerobong di sisi kanan kapal bagian tengah dan anjungan di bagian sisi
kanan kapal atas dek landasan pacu. Saudari Souryuu,
Hiryuu, mulai dibangun tahun 1936,
sekitar 6 bulan setelah Souryuu
diluncurkan. Dengan modifikasi pada desainnya dikarenakan insiden yang menimpa
armada keempat di tengah badai yang berimbas pada patahnya lambung kapal.
Anjungan Hiryuu sendiri ada di sisi
kiri dan memiliki kapasitas pesawat maksimal 73 buah
Dengan lepasnya Jepang dari traktat pada
Desember 1936, Jepang sekarang berambisi untuk membangun kapal induk dengan
spesifikasi tinggi untuk menandingi Amerika Serikat. Dari sini, mucul kapal
induk kelas Shoukaku yang terdiri
dari kapal induk Shoukaku dan Zuikaku dalam program maru san keikaku. Kapal kelas ini
dibangun dengan spesifikasi dari Angkatan Laut yaitu memiliki daya tampung sama
seperti Akagi dan Kaga setelah modifikasi (96 buah),
kecepatan sama dengan Souryuu
(maksimal 35 knot), dan jarak tempuh yang besar (10.000 mil dalam kecepatan 18
knot). Berat kapal induk kelas Shoukaku
10.000 ton lebih berat dari kelas Souryuu,
dengan tenaga 160.000 tenaga kuda, 10.000 kali dari kapal kelas Yamato. Masing-masing membawa 27 pesawat
pembom tukik, 27 pesawat torpedo, 18 pesawat tempur, dan 12 pesawat cadangan.
Total ada 84 pesawat pada masing-masing kapal. Kapal kelas ini menujukkan
performa yang bagus dalam Perang Pasifik sebelum akhirnya muncul kapal induk
kelas Essex milik Amerika Serikat
Mulai pada Perang Pasifik pada Desember 1941,
Jepang mulai membangun kapal induk super seperti Shinano dan Taihou. Taihou dibangun berdasarkan program maru yo keikaku
Selain yang disebutkan di atas, Jepang juga
membangun “Armada bayangan” kapal induk hasil konversi dari kapal bantu maupun
kapal dagang. Bekerjasama dengan perusahaan Nippon Yusen Kaisha, Jepang
mendesain kapal penumpang yang akan mudah diubah menjadi kapal induk sebagai
langkah “curang” untuk mengakali traktat London. Sebagai hasilnya, dua kapal
tender untuk kapal selam, Tsurugizaki
dan Takasaki diubah menjadi kapal
induk ringan Shohou dan Zuihou
Di awal perang, Jepang kembali membangun 6
kapal induk sebagai tambahan kekuatan mereka di Perang Pasifik. Kapal induk
kelas Unryuu ini didesain dengan
spesifikasi antara kelas Hiryuu dan Shoukaku. Dari 6 kapal yang dibangun,
hanya 3 yang selesai, yaitu Unryuu,
Amagi, dan Katsuragi. Sedangkan
sisanya, Kasagi, Ikoma, dan Aso, hanya selesai setengah jalan
sebelum akhirnya dibatalkan. Kapal kelas ini memiliki kapasitas maksimal 63
pesawat dan memiliki kecepatan maksimal 33-34 knot. Untuk persenjataan, hampir
sama dengan kapal induk kelas Souryuu
Dalam mendesain dan menggunakan kapal induk,
Jepang dan Amerika Serikat setidaknya memiliki tiga perbedaan. Yang pertama
mengenai fungsi hangar. Bagi Jepang, fungsi hangar adalah untuk penyimpanan,
perawatan, dan perbaikan pesawat sekaligus. Namun bagi Amerika Serikat, hangar
hanya biasa digunakan untuk perawatan dan perbaikan pesawat, mereka biasa
memarkir pesawat di atas dek. Yang kedua adalah hangar kapal induk Jepang dekat
gudang, sehingga pesawat dan kru dapat terlindung dari cuaca. Namun ketika
serangan bom menembus dek, kerusakan yang diterima akan sangat parah mengingat
di hangar dan gudang penyimpanan banyak barang mudah terbakar. Hal ini menimpa
pada Hiryuu dan Souryuu pada pertempuran Midway. Yang ketiga adalah operasional
penerbangan. Bagi Jepang, dek harus bersih dari pesawat lain ketika hendak
menerbangkan pesawat. Berbeda dengan Amerika Serikat yang biasa memarkir
pesawat di atas dek, sehingga mampu membagi tempat untuk parkir pesawat dan
penerbangan. Hal ini berimbas pada waktu untuk persiapan penerbangan. Saat
kondisi mendesak, waktu yang diperlukan Jepang cukup lama, sehingga membuat
mereka terbuka bagi serangan udara. Hal ini menimpa Akagi dan Kaga di
pertempuran Midway
k.
Doktrin kapal induk Jepang
Bagi
Jepang, tugas dari kapal induk adalah sebagai pengintai, pemberi bantuan
sebagai anti-kapal selam, dan pesawat tempur sebagai penjaga dari serangan
pesawat musuh. Perkembangan teknologi dan doktrin mengubah peran mereka yang
semula defensif menjadi ofensif. Pesawat kapal induk dikerahkan untuk
melumpuhkan armada musuh, terutama kapal induk lawan, dengan pesawat Jepang
yang memiliki jarak tempuh besar. Kapal induk Jepang sendiri tergabung dalam
satu armada Kido Butai dengan dibagi
3 divisi dengan satu divisi berisi 2 kapal induk pada awal Perang Pasifik
Komentar
Posting Komentar