Sejarah Demokrasi Terpimpin dan Terbentuknya Kabinet Kerja



Di tengah ketegangan politik yang terjadi pada tahun 1957 diambillah langkah menuju suatu bentuk pemerintahan yang oleh Soekarno dinamakan Demokrasi Terpimpin. Langkah itu merupakan pencarian sistem politik yang lahir dari krisis politik yang melanda Indonesia saat itu. 

Ide Demokrasi Terpimpin ini didominasi pemikiran Soekarno, walau dalam pelaksanaannya Soekarno selalu bersama dengan para pimpinan Angkatan Bersenjata. Dengan menampilkan dirinya di hadapan publik saat krisis 1957, Soekarno juga didukung pimpinan partai dalam mempertahankan posisi sentralnya (Ricklefs, 2008, 533-534).  

Demokrasi Terpimpin ini bermakna suatu bentuk demokrasi yang tetap memberikan keleluasaan kepada rakyat namun diatur dan diarahkan oleh pemimpin negara. Bentuk Demokrasi Terpimpin ini juga disebut semi otoriter. Istilah Demokrasi Terpimpin pertama kali diperkenalkan Soekarno lewat Dekrit Presiden 9 Juli 1959 yang dinyatakan bahwa Demokrasi Terpimpin sesungguhnya bukanlah diktator, sentralistik, atau faham liberal tetapi merupakan permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan atau berlandaskan sila keempat Pancasila.

Ketika Soekarno mengumumkan Dekrit Presiden 9 Juli 1959, Bung Karno memperoleh dukungan luas dari komponen masyarakat, TNI, Mahkamah Agung, dan mayoritas anggota parlemen. Hal itu karena masyarakat mendambakan stabilitas politik di dalam negeri terkait pembangunan bangsa. 

Demokrasi Terpimpin ini prinsipnya merupakan alat untuk mengatasi perpecahan yang muncul dalam ranah politik Indonesia pada tahun 1957. Untuk mengurangi pertentangan di parlemen antara partai-partai politik, suatu sistem semi otoriter perlu diciptakan, di mana peran utama dimainkan Soekarno (Harold Crouch, 1999: 44). Pengertian tentang Demokrasi Terpimpin ini dapat ditemukan dalam pidato kenegaraan Soekarno pada HUT Kemerdekaan RI 1957 dan 1958 yang pokok pemikirannya sebagai berikut: 

Pertama, ada rasa tidak puas terhadap hasil yang dicapai sejak tahun 1945 karena belum mendekati cita–cita Proklamasi 17 Agustus 1945 seperti keadilan dan kemakmuran, belum utuhnya wilayah NKRI karena masih ada daerah yang dijajah Belanda, serta adanya instabilitas nasional yang ditandai dengan jatuh bangunnya kabinet era Demokrasi Liberal.

Kedua, kegagalan itu disebabkan karena menipisnya nasionalisme, pemilihan model demokrasi liberal yang tidak cocok dengan kepribadian Indonesia, serta sistem multi partai yang didasarkan Maklumat Pemerintah 3 November 1945 yang ternyata partai–partai itu banyak digunakan sebagai alat perebutan kekuasaan dan bukan sebagai alat untuk melayani rakyat.

Ketiga, suatu koreksi total agar segera kembali pada cita–cita berdirinya NKRI yang harus dilaksanakan dengan cara meninjau kembali sistem politik yang ada. Perlu diciptakan model demokrasi yang bisa menuntun pada pengabdian bagi negara dan bangsa, yang beranggotakan orang–orang jujur, berintegritas, cerdas, dan nasionalis.

Keempat, cara yang harus ditempuh untuk melaksanakan koreksi total itu adalah dengan; (1) Mengganti sistem free fight liberalisme dengan Demokrasi Terpimpin sesuai  kepribadian bangsa; (2) Dewan Perancang Nasional (Depernas) akan membuat blue-print masyarakat adil dan makmur; (3) Konstituante hendaknya bukan menjadi tempat berdebat yang berlarut-larut hingga menimbulkan kegoncangan politik dan untuk segera menyelesaikan pekerjaan itu agar blue print dapat didasarkan pada konstitusi baru yang dibuat Konstituante; (4) Hendaknya Konstituante meninjau kembali masalah kepartaian yang ada; (5) Perlu penyederhanaan sistem kepartaian dengan mencabut Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 yang membuat sistem multi partai dan menggantinya dengan UU Kepartaian dan UU Pemilu baru.

Dalam rangka mengurangi peran partai yang tidak setuju atas diberlakukannya Demokrasi Terpimpin, Soekarno mengeluarkan Peraturan Presiden No. 7 tahun 1959 yang berisi ketentuan  kewajiban partai mencantumkan AD/ART dengan asas dan tujuan tak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, dan membubarkan partai–partai yang terlibat pemberontakan  di daerah.  Aturan itu mengakibatkan Partai Masyumi dan PSI dibubarkan, karena dianggap mendukung pemberontakan PRRI/Permesta.

Konsep Demokrasi Terpimpin ini mendorong lahirnya lembaga negara baru seperti Dewan Nasional yang diketuai Soekarno dan bertugas memberi nasihat kepada kabinet. Untuk pelaksanaannya dibentuk kabinet baru yang melibatkan semua partai termasuk PKI. Pada bulan Juli 1959, Soekarno mengumumkan kabinetnya yang bernama Kabinet Kerja, terdiri dari 9 Menteri Kabinet Inti dan 24 Menteri Muda (Herbert Feith, 1995: 75). 

Dalam Kabinet Kerja ini, Djuanda Kartawidjaja diangkat sebagai Perdana Menteri atau menteri utama, dan semua menteri harus melepas ikatan kepartaiannya dalam membentuk pemerintahan non–partai. Kabinet Kerja yang baru terbentuk merumuskan tiga hal: (1) Cukup sandang-pangan bagi rakyat; (2) Pemulihan keamanan di seluruh tanah air Indonesia; dan (3) Melanjutkan perjuangan melawan imperialis asing.

Komentar

  1. Admin sejarah kita, apakah kita bisa join dengan studi club saya di pekawon.id. kami juga sama-sama menjadi sebuah perkumpulan orang-orang pecinta sejarah. Jika boleh kabari kami di Instagram @pekawon.id

    tks

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Trilogi Pembangunan Orde Baru: Pengertian, Kebijakan, dan Dampak

Misteri Pesugihan Pohon Ketos di Kecamatan Trucuk Kabupaten Klaten

Perpecahan Sosial Politik India Setelah Masuknya Islam